Ibarat lampu signal, demam bisa menjadi gejala penanda datangnya suatu penyakit. Dalam hal ini, bayi dan anak paling rentan mengalami demam. Kalau sudah begini, orang tua kerap panik menghadapinya . Yang sering terjadi, anak buru-buru dicekoki antibiotik. Padahal belum jelas apa penyakitnya.
Karena demam masih dianggap sebagai indikasi, tentu saja tidak bisa dengan cepat dokter memastikan penyakit apa yang menyertai gejala demam tersebut. Perlu dilakukan pengalamatan selama beberapa hari untuk memastikan apakah demam itu disebabkan karena infeksi virus atau bakteri. Sayangnya, masyarakat seringkali memanfaatkan antibiotik sebelum diketahui jelas apa penyebab demamnya. Padahal secara substansi, antibiotik hanya boleh dikonsumsi oleh penderita yang terbukti mengalami infeksi bakteri saja, bukan virus.
Di masyarakat, obat antibiotik kerap dipercaya ‘tokcer’ menyembuhkan berbagai penyakit, namun hal itu tidak diimbangi dengan pemahaman tentang bagaimana mengonsumsi antibiotik secara tepat dan benar. Hal itu disayangkan Dokter Spesialis Anak RSUD Dr. Soetomo Dr. Irwanto, dr., Sp.A(K). Menurutnya, tidak semua penyakit perlu diatasi dengan menggunakan antibiotik.
“Saya selalu menekankan kepada pasien agar sabar menunggu. Perlu pengamatan sampai dua hari berikutnya. Sementara menunggu, kita bisa berikan obat penurun panas biasa. Jika selama dua hari kondisi tidak juga membaik, baru kemudian diberikan pengobatan yang lebih spesifik,” jelasnya.
Selain harus tepat sasaran, konsumsi antibiotik juga sebaiknya tidak berlebihan. Pemakaian antibiotik secara berlebihan justru dapat membunuh kuman baik di dalam tubuh. Selain itu, pemberian antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman “superbugs” yang kebal terhadap antibiotik.
Bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah menggunakan jenis antibiotik ringan akan bermutasi dan menjadi kebal, sehingga kemudian membutuhkan jenis antibiotik yang lebih kuat untuk mengantisipasinya. Bila bakteri ini menyebar, suatu saat akan tercipta kondisi di mana tidak ada lagi jenis antibiotik yang dapat membunuh bakteri yang terus menerus bermutasi ini. Jika hal ini terjadi pada anak-anak maka dikhawatirkan akan mengalami gangguan organ tubuh, seperti gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan sumsum tulang, gangguan darah dan sebagainya.
Infeksi bakteri atau virus?
Indikasi yang tepat dan benar dalam pemberian antibiotik pada anak adalah bila infeksi tersebut disebabkan oleh bakteri. Beberapa penyakit yang memang membutuhkan pemberian antibiotik antara lain seperti radang tenggorokan, infeksi saluran kemih, tifus, TBC, dan abses atau luka bernanah pada bagian kulit dan tenggorokan.
Radang tenggorokan yang disebabkan infeksi kuman streptococcus pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini.
Penyakit lain yang membutuhkan pemberian antibiotik adalah infeksi saluran kemih. Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri pada saluran kemih biasanya dilakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kultur urine. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitasnya terhadap antibiotik.
Sementara penyakit pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) yang disebabkan virus, sehingga tidak memerlukan antibiotik.
Sebagian besar kasus penyakit pada anak yang berobat jalan penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain, seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotik yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak.
Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5-7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi seperti diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus.
Hindari Menyimpan Antibiotik di Rumah
Pemakaian antibiotik yang irasional dan berlebihan tanpa disertai dengan resep dokter adalah fenomena yang masih banyak ditemui di masyarakat. Ada pula kebiasaan menyimpan sisa obat yang mengandung antibiotik di rumah kemudian dipakai ulang. Masalah lain adalah keleluasaan masyarakat membeli antibiotik secara bebas di apotek.
“Yang paling sulit dikendalikan itu kalau masyarakat masih leluasa membeli sendiri obat antibiotik di apotek, siapa yang melarang? Nggak ada,” kata Irwanto.
Kebiasaan menyimpan sisa obat antibiotik di rumah sebaiknya dihindari. Seharusnya tidak ada dosis obat yang tersisa. Antibiotik yang diresepkan sebaiknya dikonsumsi sampai habis untuk mencegah kembalinya infeksi yang berpotensi lebih parah dari yang awal.
Hal lain yang tak kalah penting adalah jangan sekali-kali memberikan antibiotik milik Anda kepada teman, keluarga, atau binatang peliharaan, karena setiap orang memiliki tingkat imunitas dan respon terhadap obat yang berbeda satu sama lain.
Antibiotik seharusnya dikonsumsi sesuai waktu yang telah ditentukan. Dokter akan memaparkan penjelasan kapan dan berapa kali obat tersebut harus dikonsumsi. Sebab hal itu berkaitan dengan kecepatan pertumbuhan bakteri. Jika pemakaiannya tidak sesuai waktu, bisa menyebabkan bakteri bertahan hidup dan menyebabkan infeksi berulang.
Perhatikan pula jam makan. Beberapa jenis antibiotik dilarang dikonsumsi bersamaan dengan makanan tertentu, sebagian lagi harus dikonsumsi di saat perut kosong, seperti amoxicillin yang harus dikonsumsi satu atau dua jam sebelum makan
Fakultas Universitas Airlangga
- Fakultas Kedokteran
- Fakultas Kedokteran Gigi
- Fakultas Hukum
- Fakultas Ekonomi dan Bisnis
- Fakultas Farmasi
- Fakultas Kedokteran Hewan
- Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
- Fakultas Sains dan Teknologi
- Fakultas Kesehatan Masyarakat
- Fakultas Psikologi
- Fakultas Ilmu Budaya
- Fakultas Keperawatan
- Fakultas Perikanan dan Kelautan
- Fakultas Vokasi
- Sekolah Pasca Sarjana
Cari Artikel yang Sesuai dengan Penelitian Anda di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar